Menjaga keutuhan bangsa dan negara merupakan upaya yang
paling krusial di Indonesia. Ketika konsep negara-bangsa (nation-state)
menjadi kian tidak relevan di Eropa seiring dengan munculnya federalisme
regional, seperti Masyarakat Uni Eropa, sebaliknya di Asia Tenggara dan belahan
bumi lainnya konsep ini masih perlu difungsionalisasikan dan dibela lewat perangkat-perangkat
demokratis.
Sehubungan dengan hal ini, peran utama civil society
bukan untuk melawan negara melainkan merepresentasikan kepentingan publik.
Apakah ini dilakukan dengan menekan atau bekerja sama dengan pemerintah adalah
hal-hal yang sesungguhnya bersifat kasuistik. Pertumbuhan masyarakat sipil yang
sehat di Indonesia menghajatkan sikap fleksibel vis-a-vis
pemerintah dan negara.
Menjadi pertanyaan, kenapa masih banyak pihak yang membahas
persiteruan negara dan masyarakat sipil?
Menurut Alberto de Capitani, paradigma mutakhir masyarakat
sipil merayakan kelompok-kelompok perantara dan organisasi-organisasi sukarelawan
sebagai tempat lahirnya demokrasi. Oleh karena itu, gambaran Taylor tentang civil
society adalah sebagai ruang yang menyuguhkan rasa dan kebiasaan mengatur
diri sendiri. Taylor selanjutnya mengungkapkan bahwa civil society
hadir untuk melawan negara, dan berlaku independen dari negara. Ia meliputi dimensi-dimensi
kehidupan sosial yang tidak bisa dicampuradukkan dengan atau ditelan habis
oleh Negara.
Namun demikian, keberadaan civil society juga menyisakan
problem tersendiri. Nancy Bermeo dari Bank Dunia pernah mengingatkan banyak
pihak agar tidak terjebak pada sikap dan upaya meromantisasikan civil
society. Hematnya, ada dua mitos terkait dengan masyarakat sipil.
Pertama, “mitos ketunggalan” (the myth of
singularity). Mitos ini telah mambawa orang untuk meyakini bahwa hanya ada
satu macam civil society di masyarakat atau negara manapun.
Kenyataannya adalah bahwa masyarakat sipil adalah gabungan dari
kelompok-kelompok yang saling bersaing, dan keberhasilan gerakan dan perjuangan
mereka dalam mengusung pemerintahan yang baik tergantung pada bagaimana
kelompok-kelompok tersebut berinteraksi satu sama lain seperti halnya bagaimana
mereka saling mempengaruhi dengan negara.
Kedua, “mitos kepadatan” (the myth of density).
Mitos ini telah menjebak banyak ilmuan sosial untuk percaxa bahwa makin
memadatnya civil society akan meningkatkan kemungkinan prilaku warga
negara yang baik maupun pemerintahan yang juga baik. Untuk menunjukkan betapa
kelirunya anggapan demikian, ia mengingatkan fenomena historis kelabu pada tiga
negara: Weimar Jerman (1918-1933), Italia prafasis (1915-1922), dan Republik
Kedua Spanyol (1931-1939). Pada tiga negara ini, civil society sangat
tersusun rapi dan solid, namun kebanyakan mereka berlaku antidemokratis.
Nancy Bermeo menyimpulkan bahwa masalah kehidupan organisatoris bukanlah
persoalan struktur (structure), melainkan lebih kepada isi (content).
Philip L. Eldridge, seorang pengamat LSM di Indonesia,
menulis bahwa tugas utama LSM di Indonesia adalah meningkatkan kapasitas kalangan
masyarakat yang kurang atau tidak beruntung buat mengatur diri sendiri (self-management)
dan membuat mereka mampu berhadapan dengan lembaga-lembaga pemerintah maupun
kekuatan lainnya berdasarkan perlakuan dan kedudukan yang sama. Berbagai LSM
muncul sebagai respon terhadap kecenderungan konsentrasi kekuasaan dan top-down
approach dalam proses pembangunan di bawah rezim Soeharto (NGOs and
the State of Indonesia, 1990).
Keterlibatan aktif civil society dalam pergantian
pemerintahan dan tuntutan terhadap reformasi dalam segala bidang, termasuk
pemerintahan, telah melahirkan momentum buat perluasan wilayah masyarakat
sipil. Civil society juga telah berkontribusi secara aktif buat
memastikan bahwa pemilu berjalan secara adil dan bebas. Pelbagai group pemantu
pemilu, misalnya, didirikan untuk mencegah berulangnya praktik kecurangan
suara oleh aparat negara. Namun demikian, perlu diakui bahwa sebagian besar LSM
masih lemah dan memiliki kapasitas yang terbatas. Secara keuangan kelanjutan mereka
masih tergantung pada bantuan lembaga-lembaga asing.
Civil society sebagai sebuah asosiasi warga negara
yang independen dan sukarelawan bukanlah hal yang baru dalam sejarah Indonesia.
Kita memiliki civil society tradisional di masa lalu yang berdaya
memenuhi kebutuhan masyarakat yang terlepas dari negara. Tetapi, keadaan telah
berubah. Dalam atmosfer hari ini, di tengah-tengah tekanan kekuatan
globalisasi, kita dituntut untuk memperbaharui pemikiran kita tentang civil
society yang relevan dengan kondisi dan tujuan kita.
Download Full Makalah di sini!
0 komentar:
Posting Komentar