Civil
Society: Definisi dan Tipologi
Definisi Civil Society
Banyak para ahli memberikan definisi
tentang Civil Society yang berbeda akan tetapi definisi tersebut tetap pada ruang
lingkup yang saling berhubungan pada sebuah keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat. Menurut beberapa ahli, civil society merupakan:
Menurut Zbigniew Rau, civil society merupakan masyarakat yang
berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan
perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai
nilai-nilai yang mereka yakini.
Menurut Anwar Ibrahim, merupakan sistem sosial yang subur yang
berasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta
inisiatif individu baik dibidang pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah
mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Menurut Eisenstadt, civil society adalah suatu masyarakat baik
secara individual maupun kelompok dalam negara yang mampu berinteraksi dengan
negara secara independen.
Kim Sunhyuk mengatakan bahwa civil society adalah satu satuan yang
terdiri dari kelompok yang secar mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan
dalam masyarakat.
Emest Geller, civil society merupakan masyarakat yang terdiri atas
institusi pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi negara.
Dari semua pandangan yang
diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, secara umum civil society dapat
disimpulkan sebagai sebuah kelompok artau tatnan masyarakat yang berdiri secara
mandiri dihadapan penguasa dan negara. Yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan
pendapat dan adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan
kepentingan publik.
Tipologi
Civil Society
Istilah civil society berasal dari bahasa Latin
societes civiles yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 SM), seorang
orator, politisi dan filosof Roma. Sejak saat itu sampai dengan abad ke-18,
pengertian civil society masih disamakan dengan negara (the state),
yakni sekelompok masyarakat yang mendominasi seluruh kelompok lain.
Dalam rentang waktu yang panjang itu, Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean-Jacques Rousseau
(1712-1778) kembali menghidupkan dan mengembangkan istilah civil society
(masyarakat sipil) dengan merujuk kepada masyarakat dan politik. Hobbes,
misalnya, berpendapat bahwa perjanjian masyarakat diadakan oleh
individu-individu untuk membentuk suatu masyarakat politik atau negara. Locke
mendefinisikan masyarakat sipil sebagai masyarakat politik (political
society) yang mana dihadapkan dengan keadaan alami (state of nature)
sekelompok manusia. Masyarakat politik itu sendiri, menurut Rousseau yang
senada dengan Hobbes, merupakan hasil dari suatu kontrak sosial. Perlu
digarisbawahi bahwa pengertian-pengertian ini lahir ketika perbedaan antara
masyarakat sipil dan negara belum dikenal, sehingga negara merupakan bagian
dari masyarakat sipil yang mengontrol pola-pola interaksi warga negaranya.
Barulah pada paruh kedua abad 18 Adam Ferguson
(1723-1816) dan Thomas Paine (1737-1809) memberi tekanan lain terhadap makna
civil society. Civil society dan negara dipahami sebagai dua buah entitas yang
berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan
struktur politik sebagai akibat pencerahan (enlightment). Keduanya
diposisikan dalam posisi yang diametral. Masyarakat sipil bahkan dinilai
sebagai anti tesis terhadap negara, ia harus lebih kuat untuk mengontrol negara
demi kepentingannya.
Pemahaman ini mengundang reaksi para pemikir
lainnya seperti Hegel (1770-1831) yang beraliran idealis. Menurutnya civil
society tidak dapat dibiarkan tanpa terkontrol. Ia justru memerlukan berbagai
macam aturan dan pembatasan melalui kontrol hukum, administrasi dan politik.
Lebih lanjut, Hegel membedakan masyarakat politik (the state) dan
masyarakat sipil (civil society). Masyarakat politik adalah
perkumpulan-perkumpulan yang mengandung aspek politik yang mengayomi masyarakat
secara keseluruhan. Sedangkan masyarakat sipil ialah perkumpulan merdeka yang
membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat borjuis.
Karl Marx (1818-1883) sependapat dengan Hegel
dalam melihat civil society sebagai masyarakat borjuis. Bedanya, Hegel
menganggap hanya melalui negara, kepentingan-kepentingan masyarakat yang
universal dan mengandung potensi konflik bisa terselesaikan. Dus, negara
merupakan sesuatu yang ideal. Marx berpandangan sebaliknya, ia menganggap
negara tak lain sebagai badan pelaksana kepentingan kaum borjuis. Oleh sebab
itu, negara harus dihapuskan, atau harus diruntuhkan oleh kelas proletar.
Ketika negara akhirnya lenyap, maka yang tinggal hanyalah masyarakat tanpa
kelas. Visi ini berseberangan dengan visi Hegel yang mengatakan di masa depan
masyarakat sipillah yang akan runtuh dari dalam, jika negara telah mampu
mengayomi seluruh kepentingan masyarakat. Sedangkan menurut Antonio Gramsci
(1891-1937) yang juga memandang civhl society sebagai milik kaum borjuis yang
akhirnya menjadi pendukung negara, disamping mereka memegang hegemoni, mereka
juga seharusnya bisa menjalankan fungsi etis dalam mendidik dan mengarahkan
perkembangan ekonomi masyarakat. (Dawam Raharjo: 1999)
Adapun menurut Alexis de Tocqueville
(1805-1859), masyarakat sipil tidak secara a priori subordinatif
terhadap negara, tetapi lebih dari itu ia bersifat otonom dan memiliki
kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjdi kekuatan penyeimbang
menghadapi intervensi negara dan tidak hanya berorientasi pada kepentingan
sendiri tetapi juga terhadap kepentingan publik. Pendap`t Tocqueville ini
kemudian diperkuat oleh Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929)
dengan konsep ”a free public sphere”, sebuah wilayah di mana masyarakat
sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik.
Penciptaan ruang publik, bagi Arendt merupakan prasyarat terciptanya civil
society dan demokratisasi. Hal senada diungkapkan Ernest Gellner
(1925-1995) yang memandang perlunya ruang dan kebebasan publik. Menurutnya civil
society adalah seperangkat institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk
mengimbangi negara dan mencegah timbulnya tirani kekuasaan.
Secara umum saat ini, penganut sosialis banyak
mengadopsi konsep hegemoni Gramsci dalam memahami civil society dimana hegemoni
tidak lagi dilakukan secara fisik, melainkan melalui penjinakan budaya dan
ideologi yang diselenggarakan secara terstruktur oleh negara. Sementara
penganut kapitalis lebih tertarik kepada civil society versi Tocqueville dimana
masyarakat dapat melakukan partisipasi mengenai pembuatan kebijakan-kebijakan
publik dalam sebuah negara dan dapat saling berinterksi dengan semangat
toleransi. Adapun di negara-negara berkembang umumnya, sikap Hegelian terhadap
negara merupakan pandangan yang dominan. Di satu sisi mereka memandang negara
sebagai wadah segala sesuatu yang ideal dan di sisi lain mereka kurang percaya
terhadap masyarakat sipil.
Menurut AS Hikam (1999), masyarakat sipil
sebagaimana dikonsepsikan oleh para pemikirnya mempunyai tiga ciri khusus
yaitu: pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari
individu-individu dan kelompok dalam masyarakat, terutama saat berhadapan
dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi
keterlibatan politik secara aktif dari warga negara demi kepentingan publik. Ketiga,
adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter.
Selanjutnya akan kita lihat bagaimana konsep civil society ini diaktualisasikan
dalam konteks Indonesia.
Referensi
Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokasi dan Civil Society.
Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Raharjo, Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah
dan Perubahan Sosial. Jakarta: LSAF.
0 komentar:
Posting Komentar