Menjaga keutuhan bangsa dan negara merupakan upaya yang paling krusial di Indo­nesia. Ketika konsep negara-bangsa (nation-state) menjadi kian tidak relevan di Eropa seiring dengan munculnya federalisme regional, seperti Masyarakat Uni Eropa, seba­lik­nya di Asia Tenggara dan be­lahan bumi lainnya konsep ini masih perlu difung­siona­li­sasikan dan dibela lewat pe­rangkat-perangkat demo­kratis.
Sehubungan dengan hal ini, peran utama civil society bukan untuk melawan negara melain­kan merepresentasikan kepen­tingan publik. Apakah ini dilakukan dengan menekan atau bekerja sama dengan pemerintah adalah hal-hal yang sesungguhnya bersifat kasuistik. Pertumbuhan masyarakat sipil yang sehat di Indonesia meng­hajatkan sikap fleksibel vis-a-vis pemerintah dan negara.
Menjadi pertanyaan, kenapa masih banyak pihak yang membahas persiteruan negara dan masyarakat sipil?
Menurut Alberto de Ca­pitani, paradigma mutakhir masyarakat sipil merayakan kelompok-kelompok perantara dan organisasi-organisasi suka­relawan sebagai tempat lahir­nya demokrasi. Oleh karena itu, gambaran Taylor tentang civil society adalah sebagai ruang yang menyuguhkan rasa dan kebiasaan mengatur diri sendiri. Taylor selanjutnya mengungkapkan bahwa civil society hadir untuk melawan negara, dan berlaku independen dari negara. Ia meliputi di­mensi-dimensi kehidupan sosial yang tidak bisa dicampur­adukkan dengan atau ditelan habis oleh Negara.
Namun demikian, kebera­daan civil society juga menyi­sakan problem tersendiri. Nancy Bermeo dari Bank Dunia pernah mengingatkan banyak pihak agar tidak terje­bak pada sikap dan upaya meromantisasikan civil society. Hematnya, ada dua mitos terkait dengan masyarakat sipil.
Pertama, “mitos ketung­galan” (the myth of singularity). Mitos ini telah mambawa orang untuk meyakini bahwa hanya ada satu macam civil society di masyarakat atau negara manapun. Kenyataannya adalah bahwa masyarakat sipil adalah gabungan dari kelompok-kelompok yang saling bersaing, dan keberhasilan gerakan dan perjuangan mereka dalam mengusung pemerintahan yang baik tergantung pada bagai­mana kelompok-kelompok tersebut berinteraksi satu sama lain seperti halnya bagaimana mereka saling mempengaruhi dengan negara.
Kedua, “mitos kepadatan” (the myth of density). Mitos ini telah menjebak banyak ilmuan sosial untuk percaxa bahwa makin memadatnya civil society akan meningkatkan kemungkinan prilaku warga negara yang baik maupun pemerintahan yang juga baik. Untuk menunjukkan betapa kelirunya anggapan demikian, ia mengingatkan fenomena historis kelabu pada tiga negara: Weimar Jerman (1918-1933), Italia prafasis (1915-1922), dan Republik Kedua Spanyol (1931-1939). Pada tiga negara ini, civil society sangat tersusun rapi dan solid, namun keba­nyakan mereka berlaku antide­mokratis. Nancy Bermeo me­nyim­pulkan bahwa masalah kehidupan organisatoris bukan­lah persoalan struktur (struc­ture), melainkan lebih kepada isi (content).
Philip L. Eldridge, seorang pengamat LSM di Indonesia, menulis bahwa tugas utama LSM di Indonesia adalah meningkatkan kapasitas kala­ngan masyarakat yang kurang atau tidak beruntung buat mengatur diri sendiri (self-management) dan membuat mereka mampu berhadapan dengan lembaga-lembaga pe­me­rintah maupun kekuatan lainnya berdasarkan perlakuan dan kedudukan yang sama. Berbagai LSM muncul sebagai respon terhadap kecenderungan konsentrasi kekuasaan dan top-down approach dalam proses pembangunan di bawah rezim Soeharto (NGOs and the State of Indonesia, 1990).
Keterlibatan aktif civil society dalam pergantian peme­rintahan dan tuntutan terhadap reformasi dalam segala bidang, termasuk pemerintahan, telah melahirkan momentum buat perluasan wilayah masyarakat sipil. Civil society juga telah berkontribusi secara aktif buat memastikan bahwa pemilu berjalan secara adil dan bebas. Pelbagai group pemantu pe­milu, misalnya, didirikan untuk mencegah berulangnya praktik kecurangan suara oleh aparat negara. Namun demikian, perlu diakui bahwa sebagian besar LSM masih lemah dan memi­liki kapasitas yang terbatas. Secara keuangan kelanjutan mereka masih tergantung pada bantuan lembaga-lembaga asing.
Civil society sebagai sebuah asosiasi warga negara yang independen dan sukarelawan bukanlah hal yang baru dalam sejarah Indonesia. Kita me­miliki civil society tradisional di masa lalu yang berdaya memenuhi kebutuhan masya­rakat yang terlepas dari negara. Tetapi, keadaan telah berubah. Dalam atmosfer hari ini, di tengah-tengah tekanan kekuatan globalisasi, kita dituntut untuk memperbaharui pemikiran kita tentang civil society yang relevan dengan kondisi dan tujuan kita.
 
Download Full Makalah di sini!

Civil Society: Definisi dan Tipologi


Civil Society: Definisi dan Tipologi

Definisi Civil Society
            Banyak para ahli memberikan definisi tentang Civil Society yang berbeda akan tetapi definisi tersebut tetap pada ruang lingkup yang saling berhubungan pada sebuah keseimbangan  antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Menurut beberapa ahli, civil society merupakan:

Menurut Zbigniew Rau, civil society merupakan masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.

Menurut Anwar Ibrahim, merupakan sistem sosial yang subur yang berasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dibidang pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.

Menurut Eisenstadt, civil society adalah suatu masyarakat baik secara individual maupun kelompok dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independen.

Kim Sunhyuk mengatakan bahwa civil society adalah satu satuan yang terdiri dari kelompok yang secar mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat.

Emest Geller, civil society merupakan masyarakat yang terdiri atas institusi pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi negara.

            Dari semua pandangan yang diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, secara umum civil society dapat disimpulkan sebagai sebuah kelompok artau tatnan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara. Yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat dan adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Tipologi Civil Society
Istilah civil society berasal dari bahasa Latin societes civiles yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 SM), seorang orator, politisi dan filosof Roma. Sejak saat itu sampai dengan abad ke-18, pengertian civil society masih disamakan dengan negara (the state), yakni sekelompok masyarakat yang mendominasi seluruh kelompok lain.
Dalam rentang waktu yang panjang itu, Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) kembali menghidupkan dan mengembangkan istilah civil society (masyarakat sipil) dengan merujuk kepada masyarakat dan politik. Hobbes, misalnya, berpendapat bahwa perjanjian masyarakat diadakan oleh individu-individu untuk membentuk suatu masyarakat politik atau negara. Locke mendefinisikan masyarakat sipil sebagai masyarakat politik (political society) yang mana dihadapkan dengan keadaan alami (state of nature) sekelompok manusia. Masyarakat politik itu sendiri, menurut Rousseau yang senada dengan Hobbes, merupakan hasil dari suatu kontrak sosial. Perlu digarisbawahi bahwa pengertian-pengertian ini lahir ketika perbedaan antara masyarakat sipil dan negara belum dikenal, sehingga negara merupakan bagian dari masyarakat sipil yang mengontrol pola-pola interaksi warga negaranya.
Barulah pada paruh kedua abad 18 Adam Ferguson (1723-1816) dan Thomas Paine (1737-1809) memberi tekanan lain terhadap makna civil society. Civil society dan negara dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik sebagai akibat pencerahan (enlightment). Keduanya diposisikan dalam posisi yang diametral. Masyarakat sipil bahkan dinilai sebagai anti tesis terhadap negara, ia harus lebih kuat untuk mengontrol negara demi kepentingannya.
Pemahaman ini mengundang reaksi para pemikir lainnya seperti Hegel (1770-1831) yang beraliran idealis. Menurutnya civil society tidak dapat dibiarkan tanpa terkontrol. Ia justru memerlukan berbagai macam aturan dan pembatasan melalui kontrol hukum, administrasi dan politik. Lebih lanjut, Hegel membedakan masyarakat politik (the state) dan masyarakat sipil (civil society). Masyarakat politik adalah perkumpulan-perkumpulan yang mengandung aspek politik yang mengayomi masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan masyarakat sipil ialah perkumpulan merdeka yang membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat borjuis.
Karl Marx (1818-1883) sependapat dengan Hegel dalam melihat civil society sebagai masyarakat borjuis. Bedanya, Hegel menganggap hanya melalui negara, kepentingan-kepentingan masyarakat yang universal dan mengandung potensi konflik bisa terselesaikan. Dus, negara merupakan sesuatu yang ideal. Marx berpandangan sebaliknya, ia menganggap negara tak lain sebagai badan pelaksana kepentingan kaum borjuis. Oleh sebab itu, negara harus dihapuskan, atau harus diruntuhkan oleh kelas proletar. Ketika negara akhirnya lenyap, maka yang tinggal hanyalah masyarakat tanpa kelas. Visi ini berseberangan dengan visi Hegel yang mengatakan di masa depan masyarakat sipillah yang akan runtuh dari dalam, jika negara telah mampu mengayomi seluruh kepentingan masyarakat. Sedangkan menurut Antonio Gramsci (1891-1937) yang juga memandang civhl society sebagai milik kaum borjuis yang akhirnya menjadi pendukung negara, disamping mereka memegang hegemoni, mereka juga seharusnya bisa menjalankan fungsi etis dalam mendidik dan mengarahkan perkembangan ekonomi masyarakat. (Dawam Raharjo: 1999)
Adapun menurut Alexis de Tocqueville (1805-1859), masyarakat sipil tidak secara a priori subordinatif terhadap negara, tetapi lebih dari itu ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjdi kekuatan penyeimbang menghadapi intervensi negara dan tidak hanya berorientasi pada kepentingan sendiri tetapi juga terhadap kepentingan publik. Pendap`t Tocqueville ini kemudian diperkuat oleh Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929) dengan konsep ”a free public sphere”, sebuah wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Penciptaan ruang publik, bagi Arendt merupakan prasyarat terciptanya civil society dan demokratisasi. Hal senada diungkapkan Ernest Gellner (1925-1995) yang memandang perlunya ruang dan kebebasan publik. Menurutnya civil society adalah seperangkat institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara dan mencegah timbulnya tirani kekuasaan.
Secara umum saat ini, penganut sosialis banyak mengadopsi konsep hegemoni Gramsci dalam memahami civil society dimana hegemoni tidak lagi dilakukan secara fisik, melainkan melalui penjinakan budaya dan ideologi yang diselenggarakan secara terstruktur oleh negara. Sementara penganut kapitalis lebih tertarik kepada civil society versi Tocqueville dimana masyarakat dapat melakukan partisipasi mengenai pembuatan kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan dapat saling berinterksi dengan semangat toleransi. Adapun di negara-negara berkembang umumnya, sikap Hegelian terhadap negara merupakan pandangan yang dominan. Di satu sisi mereka memandang negara sebagai wadah segala sesuatu yang ideal dan di sisi lain mereka kurang percaya terhadap masyarakat sipil.
Menurut AS Hikam (1999), masyarakat sipil sebagaimana dikonsepsikan oleh para pemikirnya mempunyai tiga ciri khusus yaitu: pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok dalam masyarakat, terutama saat berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara demi kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter. Selanjutnya akan kita lihat bagaimana konsep civil society ini diaktualisasikan dalam konteks Indonesia.

Referensi
Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokasi dan Civil Society. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Raharjo, Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LSAF.

Transisi Demokrasi Algeria


Kristina Kaush and Richard Youngs
Algeria: Democratic Transition Case Study
1.      Sistem Pemerintahan Algeria
-          Sebelum kerusuhan 1988, Algeria menganut sistem otokrasi dengan partai sosialis tunggal sedangkan reformasi atau perbaikan sudah dimulai sejak tahun 1980.
-          Sejak kerusuhan 1988 yang disebabkan oleh krisis ekonomi dengan anjloknya harga minyak yang sebelumnya juga dimulai dengan permasalahan-permasalahan struktural seperti masalah pengangguran, pendidikan, korupsi dan kesenjangan ekonomi membuat pemerintah mulai menekan massa dengan memperkenalkan Konstitusi dan Demokrasi.
-          Akan tetapi proses tersebut digagalkan oleh pihak militer atau pemerintah dengan pembatalan hasil pemilu 1991 yang dimenangkan FIS dengan dasar pengamanan demokrasi dari ekstrimis.

2.      Faktor-faktor Gagalnya Demokrasi Algeria
Ø  Internal
-          Lemahnya pengakuan atau legitimasi perubahan
-          Polarisasi sosial
-          Divisi oposisi dan lemahnya kekuatan oposisi
-          Meningkatnya konfrontasi antara rezim dengan islamis
-          Kemampauan tentara mengkonsolidasikan kudeta
-          Kurangnya dukungan bagi masyarakat sipil dan kekuatan yang berlawanan
Ø  Eksternal
-          Kurangnya kritik Internasional terhadap proses demokratisasi Algeria
-          Terjadinya perang Teluk
-          Politik luar negeri Iran
-          Lemahnya mediasi Internasional
-          Dukungan Internasional untuk mempertahankan rezim lama

v  Apakah legitimasi dan suara rakyat bukan merupakan kekuatan utama dalam demokratisasi sebuah negara?

3.      Politisasi Demokrasi Algeria
-          Faktor dimulainya intervensi politik ditandai dengan digagalkannya pemilu pertama pada tahun 1991 yang dimenangkan oleh FIS (Islamic Salvation Front) oleh kelompok diktator (militer/FLN) sebagai kaki tangan pemerintah melalui kudeta yang untuk mempertahankan kekuasaan lama dan menganggap FIS sebagai partai terlarang yang malah akan menghalangi proses demokratisasi Algeria.
-          Penggagalan tersebut dilakukan karena kepentingan pihak militer, negara-negara barat dan Amerika Serikat untuk mempertahankan rezim sehingga kepentingan politik (kekuasaan) dan ekonomi dapat dicapai.
Penggagalan hasil pemilu yang dimenangkanvFIS sebagai partai terpilih pada pemilu pertama 1991 dan juga pembubaran Parlemen dan pihak militer segera mendirikan Dewan Tinggi Negara untuk menjalankan pemerintahan sementara adalah bukti polarisasi kekuasaan sebagai permainan politik demi memperubutkan kekuasaan negara.

INDONESIA – PALESTINE SEMINAR
Indonesia’s Support for Palestine Independence

By:      H.E. Fariz Al Mehdawi
            (Ambassador of the State of Palestine for Indonesia)
            Ronny P. Yuliantoro
            (Direktur Timur Tengah Kemenlu Republik Indonesia)
            Yusli Efendi
            (Dosen FISIP Universitas Brawijaya)


            Pemerintahan Islam Palestina berdiri sejak tahun 1878 yang dipimpin oleh Sultan Abdel Hamid II dari Kerajaan Ottoman. Palestina merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim dengan presentase 88%, sedangkan lainnya adalah Kristen dan Yahudi.
            Perpecahan wilayah di Palestina tidak terlepas dari politik luar negeri Inggris waktu itu yang mengirim surat kepada pemuka yahudi dengan menyatakan bahwa dukungan terhadap kaum yahudi untuk mendirikan sebuah negara untuk kaum yahudi di Palestina.
            Setelah itu, mulai tahun 1920 banyak kerusuhan yang terjadi di wilayah tersebut yang diawali oleh kerusuhan Nabi Musa di Jerusalem pada tahun 1920, berlanjut pada kerusuhan protes anti imigran Jahudi di Jaffa tahun 1921, kerusuhan yang dilakukan oleh Izz Eddin al Qassam grup Tangan Hitam tahun 1930 yang membuat dirinya sebagai pahlawan pertama hingga membangkitkan semangat nasionalisme dan menjadi inspirasi bagi pejuang-pejuang kemerdekaan pada generasi berikutnya, pada akhirnya tahun 1935 terjadi “Pemberontakan Akbar” antara kubuh Arab dengan Yahudi untuk menghentikan atau mengakhiri imigrasi Yahudi dan penjualan tanah kepada orang-orang Yahudi, dan menuntut pembentukan Negara Arab merdeka.
            Setelah PBB menyetujui pemisahan wilayah pada bulan November 1947, kekerasan antara Arab dengan Jahudi meningkat yang mengakibatkan kematian sia-sia seorang pemimpin Abdel Qader al Hussaeni pada peperangan di Pastel pada 8 April 1948.
            Persekutuan Jahudi dengan Amerika Serikat dimanfaatkan dengan baik oleh mereka hingga mendapat pengakuan dari Presiden Amerika Serikat Harry Truman yang mengakui deklarasi Negara Israel. Dengan pengakuan tersebut Israel semakin mudah dalam melakukan ekspansi wilayah hingga 78% wilayah menjadi milik mereka.
         &nbrp;  Banyak penyimpangan yang dilakukan oleh Israel, diantaranya di mana penduduk asli Palestina tidak diizinkan untuk kembali ke tanah kelahiran mereka padahal hal itu telah dijamin oleh Resolusi Umum PBB No. 194. Ekspansi perbatasan dengan cara perampasan wilayah dengan kekerasan yang tidak dapat dibenarkan dan meskipun tindakan tersebut sudah dinyatakan tidak sah oleh Dewan Keamanan PBB. Adanya pemenjaraan besar-besaran orang-orang Palestina dan perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima dalam tahanan yang menyebabkan isu pelepasan semua tahanan menjadi agenda nasional yang utama. Adanya pembangunan tembok pemisah sebagai serangkaian kebijaksanaan pembagian wilayah yang sangat diskriminatif yang dimaksudkan untuk mempersulit orang-orang Palestina dalam melakukan pembangunan hingga mengakibatkan terjadinya penumpukan penduduk yang sangat parah di Jerusalem Timur.
Peran, Dukungan, dan Kontribusi Indonesia
            Dinamika dukungan dan peran Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah hubungan Indonesia dengan negara-negara timur lainnya. Di mana waktu itu adanya pengakuan pertama de facto dan de jure terhadap Indonesia oleh Mesir dan Suriah yang merupakan bagian dari negara-negara timur.
            Dukungan Indonesia terhadap Palestina selain berpijak pada akar historis juga bersandar pada semangat kemerdekaan nasional seperti tertuang pada pembukaan UUD 1945 yang menyatakan sikap Indonesia yang menolak setiap bentuk penjajahan di muka bumi.
            Secara kriminologis, posisi Indonesia dapat dibagi pada beberapa periode yaitu periode perjuangan kemerdekaan, periode Orde Lama, periode Orde Baru, dan periodd era Reformasi.
Era Perjuangan Kemerdekaan (1940-1949)
            Dukungan Indonesia terhadap nasib Palestina diwarnai oleh dinamika mengalirnya dukungan yang diberikan oleh negara-negara Timur Tengah seperti yang telah dipaparkan di atas bagian ini.
            Hal ini menegaskan kehati-hatian RI dalam menganggapi semua tawaran dari Israel melihat Indonesia adalah negara penentang penjajahan dan penyeru kepada akselerasi dekolonisasi diberbagai belahan dunia.
            Dukungan tersebut juga tercermin saat berlangsungnya Konperensi KAA pada tahun 1955 di Bandung. Isu Palestina Israel sempat dibahas pada penentuan peserta konferensi, di mana dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan Indonesia, Pakistan dengan pandangan India, Sri Lanka, dan Burma yang cenderung mendukung kehadiran delegasi dari Israel.
     &nbrp;      Penolakan Indonesia dan Pakistan tersebut didasarkan atas semangat dari KAA yang justru ingin membebaskan seluruh bangsa di wilayah Asia-Afrika di bawah penjajahan dan kolonialisme. Pada akhirnya pandangan tersebut akhirnya diterima oleh semua peserta dan menghasilkan delegasi dari Palestina yang mengikuti konferensi tersebut hingga menyepakati Deklarasi Dasa Sila Bandung.
Era Orde Lama (1959-1965)
            Dinamika politik internal Indonesia yang diwarnai dengan perubahan struktur ketatanegaraan dari demokrasi parlementer menuju demokrasi terpimpin memberikan tafsir baru atas politik luar negeri bebas aktif Indonesia yang cenderung lebih dekat dengan kekuatan blok timur dan menolak segala hal yang berbau barat (neo-kolim). Hal tersebut dicerminkan pemerintah Indonesia dengan menolak keikutsertaan Israel dalam Asian Games 1962 yang diselenggarakan di Jakarta.

Era Orde Baru (1967-1998)
            Abstainnya Indonesia pada protes negatif, penentangan, bahkan ancaman boikot terhadap mesir pasca perjanjian Camp David 1979 yang menghasilkan pengembalian semenanjung Sinai yang semula diduduki Israel terhadap Mesir menunjukkan posisi dasar Indonesia terhadap isu Palestina-Israel yang kemudian hari dikenal dengan formula Land For Peace. Posisi tersebut menunjukkan, meskipun telah mengalami perubahan rejim dan sistem politik Indonesia atas politik bebas aktif. Indonesia tetap konsisten memberikan dukungan dan bantuan bagi palestina.
            Dukungan Indonesia terhadap Palestina juga diberikan setelah pendeklarasian kemerdekaan Palestina di Alger pada tanggal 15 November 1988 dengan penandatanganan “Joint Communique on the Establishment of Indonesia-Palestine Diplomatic Relations in Ambassadorial Level”.
Era Reformasi
            Pada kepemimpinan Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, sikap Indonesia terhadap Palestina tetap komitmen dengan dukungan atas perjuangan kemerdekaan Bangsa Palestina dari Bangsa Indonesia yang tidak pernah berkurang sedikitpun.
            Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia menyambut positif penegasan yang disampaikan Israel maupun Palestina terhadap kelanjutan proses perdamaian. Terkait hal tersebut, Pemerintah Indonesia berharap agar perundingan tersebut turut membahas isu-isu utama seperti batas wilayah negara Palestina, status Jerusalem, nasib pengungsi Palestina, pembongkaran pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan Palestina, pengaturan tentang penggunaan dan pendistribusian sumber air, dan aspek keamanan.
            Dan juga dalam cerminan perjuangan Bangsa Palestina, Pemerintah Indonesia telah ikut berkontribusi dengan menyampaikan komitmen sebesar US$ 1 juta sebagai bantuan kemanusiaan pada 17 Desember 2007 di Paris pada saat penyelenggaraan Konferensi Internasional Negara-negara Donor.
            Indonesia bersama dengan Afrika Selatan juga telah menyelenggarakan New Asia-Africa Strategic Partnership Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine di Jakarta pada 14-15 Juli 2008 guna mendukung terwujudnya negara Palestina yang Viable, dan banyak menghasilkan sejumlah komitmen teknis, seperti pelatihan diberbagai bidang oleh negara peserta konferensi.
            Sebagai negara yang juga telah mengalami penjajahan selama ratusan tahun, Indonesia akan tetap konsisten mendukung terwujudnya kemerdekaan Palestina dan hal tersebut tercermin dalam amanat UU 1945. Dan Indonesia telah membuktikan konsistensinya atas dukungan terhadap kemerdekaan Palestina.